UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10.TAHUN 2009......
TENTANG
KEPARIWISATAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki
bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan
untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung
dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud
berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia;
c.
bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan,
dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai
agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan
hidup, serta kepentingan nasional;
d.
bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong
pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global;
e.
bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan sehingga
perlu diganti;
f.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepariwisataan;
Mengingat : Pasal 20 dan
Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPARIWISATAAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
2.
Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
3.
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
4.
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai
wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
5.
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
6.
Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi
Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah
administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum,
fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
7.
Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
8.
Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan usaha pariwisata.
9.
Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling
terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
10.
Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi
utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai
pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup,
serta pertahanan dan keamanan.
11.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk
mengembangkan profesionalitas kerja.
12.
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan
pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata,
pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan.
13.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
15.
Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kepariwisataan.
BAB II
ASAS,
FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan;
e. kemandirian;
f. kelestarian;
g. partisipatif;
h. berkelanjutan;
i. demokratis;
j. kesetaraan; dan
k. kesatuan.
Pasal 3
Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan
intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan
pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pasal 4
Kepariwisataan bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
j. mempererat persahabatan antarbangsa.
BAB III
PRINSIP
PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN
Pasal 5
Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:
a.
menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai
pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia
dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan
hubungan antara manusia dan lingkungan;
b.
menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan
kearifan lokal;
c.
memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan,
dan proporsionalitas;
d.
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e.
memberdayakan masyarakat setempat;
f.
menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan
daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta
keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g.
mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan
internasional dalam bidang pariwisata;
dan
h.
memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB IV
PEMBANGUNAN
KEPARIWISATAAN
Pasal 6
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan
dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan
alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
Pasal 7
Pembangunan kepariwisataan meliputi:
a. industri pariwisata;
b. destinasi pariwisata;
c. pemasaran; dan
d. kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 8
(1)
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk
pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan
kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan
rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota.
(2)
Pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional.
Pasal 9
(1)
Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi.
(3)
Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(4)
Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pemangku
kepentingan.
(5)
Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi
pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam
negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana
induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 11
Pemerintah bersama lembaga yang terkait dengan kepariwisataan
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan
kepariwisataan.
BAB V
KAWASAN
STRATEGIS
Pasal 12
(1)
Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan
memperhatikan aspek:
a.
sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya
tarik pariwisata;
b.
potensi pasar;
c.
lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan
keutuhan wilayah;
d.
perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran
strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e.
lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya;
f.
kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g.
kekhususan dari wilayah.
(2)
Kawasan strategis pariwisata dikembangkan untuk berpartisipasi
dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(3)
Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial,
dan agama masyarakat setempat.
Pasal 13
(1)
Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas kawasan strategis pariwisata nasional,
kawasan strategis pariwisata provinsi, dan kawasan strategis pariwisata
kabupaten/kota.
(2)
Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(3)
Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan oleh Pemerintah,
kawasan strategis pariwisata provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
provinsi, dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(4)
Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.
BAB VI
USAHA
PARIWISATA
Pasal 14
(1)
Usaha pariwisata meliputi, antara lain:
a.
daya tarik wisata;
b.
kawasan pariwisata;
c.
jasa transportasi wisata;
d.
jasa perjalanan wisata;
e.
jasa makanan dan minuman;
f.
penyediaan akomodasi;
g.
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h.
penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan
pameran;
i.
jasa informasi pariwisata;
j.
jasa konsultan pariwisata;
k.
jasa pramuwisata;
l.
wisata tirta; dan
m.
spa.
(2)
Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
(1)
Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu
kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menunda atau meninjau
kembali pendaftaran usaha pariwisata apabila tidak sesuai dengan ketentuan tata
cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan
melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha
pariwisata dengan cara:
a.
membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi;
dan
b.
memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
dengan usaha skala besar.
BAB VII
HAK,
KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 18
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola
urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1)
Setiap orang berhak:
a.
memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b.
melakukan usaha pariwisata;
c.
menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan/atau
d.
berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2)
Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi
pariwisata mempunyai hak prioritas:
a.
menjadi pekerja/buruh;
b.
konsinyasi; dan/atau
c.
pengelolaan.
Pasal 20
Setiap wisatawan berhak memperoleh:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c. perlindungan hukum dan keamanan;
d. pelayanan kesehatan;
e. perlindungan hak pribadi; dan
f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko
tinggi.
Pasal 21
Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut
usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Pasal 22
Setiap pengusaha pariwisata berhak:
a.
mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang
kepariwisataan;
b.
membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c.
mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha;
dan
d.
mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 23
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban:
a.
menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta
keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
b.
menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha
pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha,
memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;
c.
memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang
menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan
d.
mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka
mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan pengendalian
kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 24
Setiap orang berkewajiban:
a.
menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan
b.
membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku
santun, dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.
Pasal 25
Setiap wisatawan berkewajiban:
a.
menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b.
memelihara dan melestarikan lingkungan;
c.
turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar
kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Pasal 26
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a.
menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b.
memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c.
memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d.
memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan
keselamatan wisatawan;
e.
memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan
kegiatan yang berisiko tinggi;
f.
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi
setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g.
mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam
negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h.
meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan
pendidikan;
i.
berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program
pemberdayaan masyarakat;
j.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar
kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k.
memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
l.
memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m.
menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha
kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
n.
menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 27
(1)
Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya
tarik wisata.
(2)
Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies
tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan
daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan,
keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
BAB VIII
KEWENANGAN
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 28
Pemerintah berwenang:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan
nasional;
b.
mengoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan
lintas provinsi;
c.
menyelenggarakan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
menetapkan daya tarik wisata nasional;
e.
menetapkan destinasi pariwisata nasional ;
f.
menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria, dan sistem
pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan;
g.
mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang
kepariwisataan;
h.
memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang
menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali;
i.
melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional;
j.
memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan;
k.
memberikan informasi dan/atau peringatan dini yangberhubungan
dengan keamanan dan keselamatan wisatawan;
l.
meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang
dimiliki masyarakat;
m.
mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan
kepariwisataan; dan
n.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 29
Pemerintah provinsi berwenang:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan
provinsi;
b.
mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya;
c.
melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran
usaha pariwisata;
d.
menetapkan destinasi pariwisata provinsi;
e.
menetapkan daya tarik wisata provinsi;
f.
memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata
yang berada di wilayahnya;
g.
memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi;
dan
h.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 30
Pemerintah kabupaten/kota berwenang:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota;
b.
menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota;
c.
menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota;
d.
melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran
usaha pariwisata;
e.
mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di
wilayahnya;
f.
memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan
produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g.
memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
h.
menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam
lingkup kabupaten/kota;
i.
memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di
wilayahnya;
j.
menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan
k.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 31
(1)
Setiap perseorangan, organisasi pariwisata, lembaga pemerintah,
serta badan usaha yang berprestasi luar biasa atau berjasa besar dalam
partisipasinya meningkatkan pembangunan, kepeloporan, dan pengabdian di bidang
kepariwisataan yang dapat dibuktikan dengan fakta yang konkret diberi penghargaan.
(2)
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Pemerintah atau lembaga lain yang tepercaya.
(3)
Penghargaan dapat berbentuk pemberian piagam, uang, atau bentuk
penghargaan lain yang bermanfaat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan, bentuk
penghargaan, dan pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 32
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan.
(2)
Dalam menyediakan dan menyebarluaskan informasi, Pemerintah
mengembangkan sistem informasi kepariwisataan nasional.
(3)
Pemerintah Daerah dapat mengembangkan dan mengelola sistem
informasi kepariwisataan sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.
BAB IX
KOORDINASI
Pasal 33
(1)
Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan kepariwisataan
Pemerintah melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran kebijakan,
program, dan kegiatan kepariwisataan.
(2)
Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a.
bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina;
b.
bidang keamanan dan ketertiban;
c.
bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik,
telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;
d.
bidang transportasi darat, laut, dan udara; dan
e.
bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.
Pasal 34
Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) dipimpin oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme, dan
hubungan koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB X
BADAN
PROMOSI PARIWISATA INDONESIA
Bagian Kesatu
Badan
Promosi Pariwisata Indonesia
Pasal 36
(1)
Pemerintah memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibu kota negara.
(2)
Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3)
Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 37
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri atas 2 (dua)
unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 38
(1)
Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:
a.
wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b.
wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c.
wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan
d.
pakar/akademisi 2 (dua) orang.
(2)
Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia
diusulkan oleh Menteri kepada Presiden untuk masa tugas paling lama 4 (empat)
tahun.
(3)
Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia
dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu oleh seorang
sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta
tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
membentuk unsur pelaksana untuk menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata
Indonesia.
Pasal 40
(1)
Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Indonesia dipimpin oleh seorang
direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.
(2)
Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Indonesia wajib
menyusun tata kerja dan rencana kerja.
(3)
Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Indonesia
paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
kerja berikutnya.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta
tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Badan Promosi
Pariwisata Indonesia.
Pasal 41
(1)
Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai tugas:
a.
meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b.
meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan
devisa;
c.
meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d.
menggalang pendanaan dari sumber selain Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.
melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis
pariwisata.
(2)
Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai fungsi sebagai:
a.
koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat
dan daerah; dan
b.
mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 42
(1)
Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Indonesia berasal dari:
a.
pemangku kepentingan; dan
b.
sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit
oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
Bagian Kedua
Badan
Promosi Pariwisata Daerah
Pasal 43
(1)
Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan Badan Promosi
Pariwisata Daerah yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota.
(2)
Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3)
Badan Promosi Pariwisata Daerah dalam melaksanakan kegiatannya
wajib berkoordinasi dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia.
(4)
Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 44
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Daerah terdiri atas 2
(dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 45
(1)
Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:
a.
wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b.
wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c.
wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan
d.
pakar/akademisi 2 (dua) orang.
(2)
Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata
Daerah ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota untuk masa tugas
paling lama 4 (empat) tahun.
(3)
Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin
oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris
yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta
tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Gubernur/Bupati/ Walikota.
Pasal 46
Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
membentuk unsur pelaksana untuk menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata
Daerah.
Pasal 47
(1)
Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh
seorang direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.
(2)
Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah wajib menyusun
tata kerja dan rencana kerja.
(3)
Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah paling
lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta
tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Badan Promosi
Pariwisata Daerah.
Pasal 48
(1)
Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai tugas:
a.
meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b.
meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan
devisa;
c.
meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d.
menggalang pendanaan dari sumber selain Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.
melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis
pariwisata.
(2)
Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai fungsi sebagai:
a.
koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat
dan daerah; dan
b.
mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 49
(1)
Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Daerah berasal dari:
a.
pemangku kepentingan; dan
b.
sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit
oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
BAB XI
GABUNGAN
INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA
Pasal 50
(1)
Untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang
kompetitif, dibentuk satu wadah yang dinamakan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia.
(2)
Keanggotaan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia
terdiri atas:
a.
pengusaha pariwisata;
b.
asosiasi usaha pariwisata;
c.
asosiasi profesi; dan
d.
asosiasi lain yang terkait langsung dengan pariwisata.
(3)
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta
wadah komunikasi dan konsultasi para anggotanya dalam penyelenggaraan dan pembangunan
kepariwisataan.
(4)
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam
melakukan kegiatannya bersifat nirlaba.
(5)
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia melakukan kegiatan,
antara lain:
a.
menetapkan dan menegakkan Kode Etik Gabungan Industri Pariwisata Indonesia;
b.
menyalurkan aspirasi serta memelihara kerukunan dan kepentingan
anggota dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan bidang kepariwisataan;
c.
meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dan
pengusaha pariwisata luar negeri untuk kepentingan pembangunan kepariwisataan;
d.
mencegah persaingan usaha yang tidak sehat di bidang pariwisata;
dan
e.
menyelenggarakan pusat informasi usaha dan menyebarluaskan
kebijakan Pemerintah di bidang kepariwisataan.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, keanggotaan, susunan
kepengurusan, dan kegiatan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
BAB XII
PELATIHAN
SUMBER DAYA MANUSIA, STANDARDISASI,
SERTIFIKASI,
DAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelatihan
Sumber Daya Manusia
Pasal 52
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelatihan sumber
daya manusia pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Standardisasi
dan Sertifikasi
Pasal 53
(1)
Tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi.
(2)
Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi.
(3)
Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi
yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 54
(1)
Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki
standar usaha.
(2)
Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi usaha.
(3)
Sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 dan sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Tenaga
Kerja Ahli Warga Negara Asing
Pasal 56
(1)
Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja ahli warga
negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional
kepariwisataan.
BAB XIII
PENDANAAN
Pasal 57
Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat.
Pasal 58
Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Pasal 59
Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang
diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam
dan budaya.
Pasal 60
Pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat dalam pembangunan
pariwisata di pulau kecil diberikan insentif yang diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 61
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi
usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.
BAB XIV
SANKSI
ADMINISTRATIF
Pasal 62
(1)
Setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan
mengenai hal yang harus dipenuhi.
(2)
Apabila wisatawan telah diberi teguran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan tidak diindahkannya, wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari
lokasi perbuatan dilakukan.
Pasal 63
(1)
Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
pembatasan kegiatan usaha; dan
c.
pembekuan sementara kegiatan usaha.
(3)
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.
(4)
Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang
tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada
pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4).
BAB XV
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 64
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik
daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2)
Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak
fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB XVI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 65
Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) harus telah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66
(1)
Pembentukan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 untuk pertama kalinya difasilitasi oleh Pemerintah.
(2)
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus telah dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 67
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan
dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 68
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3427) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 3427), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2009 NOMOR 11
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10
TAHUN 2009
TENTANG
KEPARIWISATAAN
I. UMUM
Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan yang tidak
ternilai harganya. Kekayaan berupa letak geografis yang strategis,
keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna,
peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya merupakan
sumber daya dan modal untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan dicita-citakan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sumber daya dan modal tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal
melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan
pendapatan nasional, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan
lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan
daya tarik wisata dan destinasi di Indonesia, serta memupuk rasa cinta tanah
air dan mempererat persahabatan antarbangsa.
Kecenderungan perkembangan kepariwisataan dunia dari tahun ke
tahun menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan, antara
lain, oleh perubahan struktur sosial ekonomi negara di dunia dan semakin banyak
orang yang memiliki pendapatan lebih yang semakin tinggi. Selain itu,
kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi
kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus
dihormati dan dilindungi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha
pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai
hak setiap orang dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan
harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan
antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.
Dalam menghadapi perubahan global dan penguatan hak pribadi masyarakat
untuk menikmati waktu luang dengan berwisata, perlu dilakukan pembangunan kepariwisataan
yang bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan bangsa dengan tetap menempatkan
kebhinekaan sebagai suatu yang hakiki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, pembangunan kepariwisataan harus tetap memperhatikan
jumlah penduduk. Jumlah penduduk akan menjadi salah satu modal utama dalam
pembangunan kepariwisataan pada masa sekarang dan yang akan datang karena
memiliki fungsi ganda, di samping sebagai aset sumber daya manusia, juga
berfungsi sebagai sumber potensi wisatawan nusantara.
Dengan demikian, pembangunan kepariwisataan dapat dijadikan sarana
untuk menciptakan kesadaran akan identitas nasional dan kebersamaan dalam
keragaman. Pembangunan kepariwisataan dikembangkan dengan pendekatan
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan
yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada masyarakat, dan
bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakupi berbagai aspek, seperti sumber
daya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan
lintas sektor, kerja sama antarnegara, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung
jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan kepariwisataan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan masih
menitikberatkan pada usaha pariwisata.
Oleh karena itu, sebagai salah satu syarat untuk menciptakan iklim
yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh dalam
rangka menjawab tuntutan zaman akibat perubahan lingkungan strategis, baik
eksternal maupun internal, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990
dengan undang-undang yang baru.
Materi yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi, antara lain
hak dan kewajiban masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, pembangunan kepariwisataan yang komprehensif dan
berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis,
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi
pariwisata, badan promosi pariwisata, asosiasi kepariwisataan, standardisasi
usaha, dan kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata
melalui pelatihan sumber daya manusia.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lingkungan hidup” adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “masyarakat setempat” adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi pariwisata dan diprioritaskan
untuk mendapatkan manfaat dari penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat tersebut.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan
internasional” adalah kode etik dan kesepakatan internasional dalam
penyelenggaraan kepariwisataan yang telah diratifikasi.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri
pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan)
industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredibilitas
bisnis, serta tanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi pariwisata,
antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan
prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata
secara terpadu dan berkesinambungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran,
antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab
dalam membangun citra Indonesia
sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan
kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta, dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta
mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan” adalah Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penanaman modal dalam
negeri dan penanaman modal asing yang dilakukan melalui, antara lain pemberian
insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan, promosi penanaman modal, dan
pemberian informasi peluang penanaman modal.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kawasan strategis yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan
pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “usaha daya tarik wisata” adalah usaha yang
kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan
daya tarik wisata buatan/binaan manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “usaha kawasan pariwisata” adalah usaha yang
kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi
kebutuhan pariwisata.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “usaha jasa transportasi wisata” adalah usaha
khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan
angkutan transportasi reguler/umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “usaha jasa perjalanan wisata” adalah usaha
biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata.
Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa
perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata,
termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah.
Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana,
seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “usaha jasa makanan dan minuman” adalah usaha
jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan
untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai
minum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “usaha penyediaan akomodasi” adalah usaha
yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata
lainnya.
Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan,
persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan
pariwisata.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan
rekreasi” merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan,
arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya
yang bertujuan untuk pariwisata.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan
insentif, konferensi, dan pameran” adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu
pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra
usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam
rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala
nasional, regional, dan internasional.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “usaha jasa informasi pariwisata” adalah
usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil
penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak
dan/atau elektronik.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “usaha jasa konsultan pariwisata” adalah
usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan,
perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang
kepariwisataan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “usaha jasa pramuwisata” adalah usaha yang
menyediakan dan/atau mengoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “usaha wisata tirta” merupakan usaha yang
menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan
prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai,
sungai, danau, dan waduk.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “usaha spa” adalah usaha perawatan yang
memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah,
layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan
jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tata cara pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri bersifat
teknis dan administratif yang memenuhi prinsip dalam penyelenggaran pelayanan
publik yang transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan yang sederhana,
persyaratan teknis dan administratif yang mudah, waktu penyelesaian yang cepat,
lokasi pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan yang jelas, dan
informasi pelayanan yang terbuka. Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat
dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit
pelayanan instansi pemerintah (akuntabel).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebijakan pencadangan usaha pariwisata”
adalah memberikan perlindungan dan kesempatan berusaha untuk usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “mengelola” adalah merencanakan, mengorganisasikan,
dan mengendalikan semua urusan kepariwisataan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “konsinyasi” adalah hak setiap orang atau
masyarakat untuk menempatkan komoditas untuk dijual melalui usaha pariwisata
yang pembayarannya dilakukan kemudian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengelolaan” adalah hak setiap orang atau
masyarakat untuk mengusahakan sumber daya yang dimilikinya dalam menunjang kegiatan
usaha pariwisata, misalnya penyediaan angkutan di sekitar destinasi untuk
menunjang pergerakan wisatawan.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan kepariwisataan sesuai dengan
standar” adalah pelayanan yang diberikan kepada wisatawan berdasarkan standar
kualifikasi usaha dan standar kompetensi sumber daya manusia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “usaha pariwisata dengan kegiatan yang
berisiko tinggi” meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat
tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu,
seperti melihat satwa liar di alam bebas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “spesies tertentu” adalah kelompok flora dan
fauna yang dilindungi.
Yang dimaksud dengan “keunikan” adalah suatu keadaan atau hal yang
memiliki kekhususan/keistimewaan yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan
wisatawan, seperti relief candi, patung, dan rumah adat.
Yang dimaksud dengan “nilai autentik” adalah nilai keaslian yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan, seperti benda cagar budaya.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai koordinasi strategis di bidang pelayanan
kepabeanan dilakukan dengan instansi pemerintah yang mengurusi bidang bea cukai
dalam hal mempermudah masuk dan keluarnya barang untuk keperluan berbagai
kegiatan pariwisata, antara lain untuk keperluan pertemuan, perjalanan
insentif, konferensi, dan pameran; untuk promosi pariwisata internasional; dan
untuk kegiatan pariwisata internasional lainnya.
Ketentuan mengenai koordinasi strategis di bidang pelayanan
keimigrasian dilakukan dengan instansi pemerintah yang mengurusi keimigrasian
dalam hal mempermudah:
a.
pemberian bebas visa kunjungan singkat (BVKS) atau visa free dan
visa kunjungan saat kedatangan (VKSK) atau visa on arrival (VOA); dan
b.
pemberian visa kepada peserta pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi, dan pameran dari negara di luar yang mendapatkan fasilitas BVKS dan
VKSK.
Ketentuan mengenai koordinasi strategis di bidang pelayanan
karantina dilakukan dengan instansi pemerintah yang mengurusi karantina dan
kesehatan dengan prosedur yang jelas dan tegas dalam hal:
a.
masuk dan keluarnya hewan dan tumbuhan yang terkait dengan
kegiatan pariwisata/ pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
dan
b.
masuk dan keluarnya bahan/barang untuk keperluan wisatawan.
Huruf b
Ketentuan mengenai koordinasi strategis bidang keamanan dan
ketertiban dilakukan dengan instansi Pemerintah di bidang pemerintahan dalam
negeri, Kepolisian Republik Indonesia,
dan Tentara Nasional Indonesia dalam hal:
a.
kebijakan dan pelayanan pengamanan di lingkungan objek vital
pariwisata nasional dan daerah;
b.
penetapan standar keamanan dan ketertiban serta pengawasan
perjalanan wisatawan sejak kedatangan, selama perjalanan, dan sampai kepulangan;
dan
c.
pemberian informasi mengenai kondisi destinasi pariwisata yang
kondusif dan aman untuk dikunjungi dengan memberikan peringatan dini terhadap
adanya suatu bencana.
Huruf c
Ketentuan mengenai koordinasi strategis bidang prasarana umum
dilakukan dengan instansi pemerintah dalam hal ketersediaan dan keterpeliharaan:
a.
prasarana jalan menuju dan di lingkungan destinasi pariwisata;
b.
air bersih untuk fasilitas umum dan fasilitas pariwisata di
destinasi pariwisata;
c.
listrik untuk fasilitas umum dan fasilitas pariwisata di destinasi
pariwisata;
d.
sarana telekomunikasi untuk fasilitas umum dan fasilitas
pariwisata di destinasi pariwisata; dan
e.
sistem pembuangan air kotor, sampah, dan sanitasi.
Huruf d
Ketentuan mengenai koordinasi strategis bidang transportasi darat,
laut, dan udara dilakukan dengan instansi pemerintah di bidang perhubungan
dalam hal:
a.
peningkatan jalur dan frekuensi penerbangan maskapai asing dan
maskapai nasional dari sumber utama pasar wisatawan mancanegara;
b.
peningkatan kualitas sarana bandara, terminal bus, stasiun kereta
api, dan pelabuhan laut yang memenuhi International Ship and Port Security
Code (ISPS Code);
c.
peningkatan kenyamanan sarana transportasi;
d.
keterpaduan moda transportasi;
e.
ketersediaan pelayanan transportasi perintis; dan
f.
ketersediaan rambu/petunjuk perjalanan menuju daya tarik wisata
dan destinasi pariwisata.
Huruf e
Ketentuan mengenai koordinasi strategis bidang promosi pariwisata
dilakukan dengan instansi Pemerintah yang menangani bidang luar negeri, perindustrian,
perdagangan, penanaman modal, dan Pemerintah Daerah dalam hal promosi terpadu
di bidang pariwisata, perdagangan, industri, dan penanaman modal dan promosi
bersama di bidang pariwisata dengan melibatkan pemerintah daerah, perusahaan
penerbangan, dan industri pariwisata.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “unsur penentu kebijakan” adalah penentu yang
merumuskan dan menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas Badan Promosi
Pariwisata Indonesia.
Yang dimaksud dengan “unsur pelaksana” adalah pelaksana kebijakan
yang menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata Indonesia.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Sertifikasi kompetensi diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi
yang mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Sertifikat diberikan
setelah lulus uji kompetensi yang dilakukan berdasarkan standar kompetensi yang
disusun bersama-sama oleh instansi pemerintah di bidang pariwisata, asosiasi
pariwisata, pengusaha, dan akademisi.
Pasal 56
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tenaga kerja ahli warga negara asing bidang
pariwisata dibutuhkan sepanjang keahliannya belum dapat dipenuhi atau belum
tersedia tenaga kerja Indonesia
selama tidak bertentangan dengan kesepakatan internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 4966
Tidak ada komentar:
Posting Komentar